Dalam ayat ini, Allah mengajukan pertanyaan, apa halangan bagi kaum Muslimin untuk tidak makan hewan yang halal yang disebutkan nama Allah ketika menyembelihnya? Padahal Allah telah menjelaskan kepada mereka apa yang sesungguhnya diharamkan bagi mereka, sebagaimana firman-Nya: Katakanlah, "Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan makannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi “ karena semua itu kotor “ atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah. Tetapi barang siapa terpaksa bukan karena menginginkan dan tidak melebihi batas (darurat) maka sungguh, Tuhanmu Maha Pengampun, Maha Penyayang (al-An'am/6: 145) Tetapi Allah memberikan keringanan kepada kaum Muslimin untuk makan makanan yang diharamkan jika dalam keadaan terpaksa. Di dalam Ushul Fiqh ada sebuah kaidah yang berbunyi: "Keadaan darurat (memaksa) membolehkan makan apa yang diharamkan" Tindakan sebagian besar manusia memang salah dan menyesatkan dengan cara penyembelihan yang mereka lakukan, sehingga mereka terperosok ke dalam tindakan syirik, dan jauh dari akidah yang benar, yaitu kepercayaan tauhid yang dibawa para nabi dan rasul yang diutus Allah untuk umat manusia seluruhnya. Di antara umat Nabi Nuh terdapat beberapa pemimpin yang saleh. Setelah mereka wafat, pengikut-pengikutnya mendirikan beberapa patung untuk mengenang jasa-jasa mereka dan untuk mereka jadikan teladan yang baik. Lama kelamaan para pengikutnya melampaui batas, sehingga mereka memberikan penghormatan kepada patung-patung itu dengan cara menyembelih hewan untuk dipersembahkan kepada patung-patung itu, bahkan mereka memohon berkah dari patung-patung itu. Keadaan ini berlangsung terus, generasi demi generasi, dan akhirnya menyebar kepada umat yang lainnya, sehingga penghormatan yang dimaksud berubah menjadi keyakinan bahwa patung-patung itu pantas dihormati dan disembah.
Sumber : Aplikasi Quran Kementrian Agama Republik Indonesia