Bila musuh-musuh Islam itu, baik orang Yahudi maupun orang-orang musyrikin condong kepada perdamaian, mungkin karena mereka benar-benar ingin damai atau karena melihat kekuatan dan kekompakan kaum Muslimin atau karena belum mengkonsolidasikan diri untuk berperang atau karena sebab-sebab lain, maka hendaklah dijajaki kemungkinan damai. Sesudah ternyata bahwa berdamai tidak akan merugikan siasat perjuangan Islam, hendaklah diterima perdamaian itu, tentu saja dengan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang dapat menjamin kepentingan bersama dan tidak merugikan masing-masing pihak, karena dasar perjuangan Islam adalah perdamaian. Hal ini telah dipraktikkan Rasulullah pada waktu beliau menerima perdamaian Hudaibiyah antara kaum Muslimin dan kaum musyrikin pada tahun keenam Hijri. Meskipun syarat-syarat perdamaian Hudaibiyah itu jika dilihat sepintas merugikan kaum Muslimin, sehingga banyak para sahabat yang merasa keberatan, tetapi Rasulullah, yang mempunyai pandangan jauh dan taktik serta siasat yang bijaksana, dapat menerimanya. Ternyata kemudian sebagaimana diutarakan para ahli sejarah bahwa Perdamaian Hudaibiyah itu adalah merupakan landasan bagi kemenangan kaum Muslimin selanjutnya. Setelah perjanjian damai diterima, hendaklah Nabi bersama kaum Muslimin bertawakal sepenuhnya kepada Allah, karena Dialah Yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui hakikat yang sebenarnya dari perdamaian, apakah orang-orang Yahudi dan kaum musyrikin benar-benar jujur dan menginginkan terlaksananya perdamaian, atau hanya karena taktik dan siasat, atau karena hendak menipu atau menunggu lengahnya kaum Muslimin saja.
Sumber : Aplikasi Quran Kementrian Agama Republik Indonesia