Dalam ayat ini, Allah swt menerangkan tentang para pemuda Ashhabul Kahf ketika bangun dari tidur. Keadaan mereka, baik badan, kulit, rambut, maupun yang lainnya masih sama dengan waktu sebelum mereka tidur. Semuanya sehat dan semuanya masih utuh, bahkan pakaian yang melekat di badan mereka tetap utuh. Allah swt memperlihatkan kepada mereka keagungan, kebesaran, dan kekuasaan-Nya, serta keajaiban dan keluarbiasaan perbuatan-Nya terhadap makhluk-Nya. Oleh karena itu, iman mereka bertambah kuat untuk melepaskan diri dari penyembahan dewa-dewa, dan bertambah ikhlas hati mereka untuk semata-mata menyembah Allah Yang Maha Esa. Setelah bangun dari tidur yang lama, mereka saling bertanya satu sama lain untuk mengetahui keadaan mereka. Salah seorang dari mereka berkata kepada kawan-kawannya, "Berapa lama kalian tinggal dalam gua ini?" Dia menyatakan ketidaktahuannya tentang keadaan dirinya sendiri selama tidur, lalu meminta kepada yang lainnya untuk memberikan keterangan. Kawan-kawannya menjawab, "Kita tinggal dalam gua ini sehari atau setengah hari." Yang menjawab itupun tidak dapat memastikan berapa lama mereka tinggal, sehari atau setengah hari, karena pengaruh tidur masih belum lenyap dari jiwa mereka. Mereka belum melihat tanda-tanda yang menunjukkan sudah berapa lama mereka berada di gua itu. Kebanyakan ahli tafsir mengatakan bahwa waktu mereka datang memasuki gua itu dulu adalah pada pagi hari, kemudian waktu Tuhan membangunkan mereka dari tidur adalah pada sore hari. Karena itulah orang yang menjawab ini menyangka bahwa mereka berada di gua itu satu atau setengah hari. Kemudian kawan-kawannya yang lain berkata, "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lama kamu tinggal di sini." Perkataan pemuda yang terakhir ini sangat bijaksana untuk membantah pernyataan dan jawaban kawan-kawannya yang terdahulu. Pernyataan itu seakan-akan diilhami oleh Allah swt, atau didasarkan atas bukti-bukti nyata. Sesungguhnya masa yang panjang itu hanya dapat diketahui dan ditentukan secara pasti oleh Allah swt. Mereka akhirnya menyadari keterbatasan kemampuan mereka untuk mengetahui yang gaib. Setelah sadar, barulah perhatian mereka beralih kepada kebutuhan yang pokok, yakni makan dan minum. Salah seorang di antara mereka disuruh pergi ke kota dengan membawa uang perak untuk membeli makanan. Menurut riwayat namanya Tamlikha. Sebelum membeli, ia diminta terlebih dahulu memperhatikan makanan itu, mana yang halal dan mana yang haram, serta mana yang baik dan mana yang kurang baik. Makanan yang halal dan baik itulah yang dibawa kembali ke tempat perlindungan mereka. Tamlikha diminta agar berhati-hati dalam perjalanan, baik sewaktu masuk ke kota maupun kembali dari kota, jangan sampai dia memberitahukan kepada seorang pun tentang keadaan dan tempat bersembunyi mereka. Dari potongan ayat "fab'atsu ahadakum biwariqikum hadzih(i)", yang artinya "(maka suruhlah) salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini", terdapat istimbat hukum yang berhubungan dengan wakalah (berwakil). Yakni seseorang dibolehkan menyerahkan kepada orang lain, sebagai ganti dirinya, urusan harta dan hak semasa hidupnya. Ibnu al-'Arabi berpendapat bahwa ayat ini menjadi dasar paling kuat untuk wakalah (berwakil).
Sumber : Aplikasi Quran Kementrian Agama Republik Indonesia