Dalam ayat ini, dikisahkan bahwa setelah Nabi Musa dan Yusya menelusuri kembali jalan yang dilalui tadi, mereka sampai pada batu yang pernah dijadikan tempat beristirahat. Di tempat ini, mereka bertemu dengan seseorang yang berselimut kain putih bersih. Orang ini disebut Khidir, sedang nama aslinya adalah Balya bin Mulkan. Ia digelari dengan nama Khidir karena ia duduk di suatu tempat yang putih, sedangkan di belakangnya terdapat tumbuhan menghijau. Keterangan ini didasarkan pada hadis berikut: Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw bersabda, "Dinamakan Khidir karena ia duduk di atas kulit binatang yang putih. Ketika tempat itu bergerak, di belakangnya tampak tumbuhan yang hijau." (Riwayat al-Bukhari) Dalam ayat ini, Allah swt juga menyebutkan bahwa Khidir itu ialah orang yang mendapat ilmu langsung dari Allah. Ilmu itu tidak diberikan kepada Nabi Musa, sebagaimana juga Allah telah menganugerahkan ilmu kepada Nabi Musa yang tidak diberikan kepada Khidir. Menurut Hujjatul Islam al-Gazali, bahwa pada garis besarnya, ada dua cara bagi seseorang untuk mendapatkan ilmu: 1. Proses pengajaran dari manusia, disebut at-ta'lim al-insani, yang dibagi lagi menjadi dua, yaitu: a. Belajar kepada orang lain (di luar dirinya). b. Belajar sendiri dengan menggunakan kemampuan akal pikiran. 2. Pengajaran yang langsung diberikan Allah kepada seseorang yang disebut at-ta'lim ar-rabbani, yang dibagi menjadi dua juga, yaitu : a. Diberikan dengan cara wahyu, yang ilmunya disebut: 'ilm al-anbiya' (ilmu para nabi) dan ini khusus untuk para nabi. b. Diberikan dengan cara ilham yang ilmunya disebut 'ilm ladunni (ilmu dari sisi Tuhan). 'Ilm ladunni ini diperoleh dengan cara langsung dari Tuhan tanpa perantara. Kejadiannya dapat diumpamakan seperti sinar dari suatu lampu gaib yang langsung mengenai hati yang suci bersih, kosong lagi lembut. Ilham ini merupakan perhiasan yang diberikan Allah kepada para kekasih-Nya (para wali).
Sumber : Aplikasi Quran Kementrian Agama Republik Indonesia