Pada ayat ini Allah memerintahkan kepada hamba-Nya agar mereka makan rezeki yang halal dan baik, yang telah dikaruniakan-Nya kepada mereka. "Halal" di sini mengandung pengertian, halal bendanya dan halal cara memperolehnya. Sedangkan "baik" adalah dari segi kemanfaatannya, yaitu yang mengandung manfaat dan maslahat bagi tubuh, mengandung gizi, vitamin, protein dan sebagainya. Makanan tidak baik, selain tidak mengandung gizi, juga jika dikonsumsi akan merusak kesehatan. Prinsip "halal dan baik" ini hendaknya senantiasa menjadi perhatian dalam menentukan makanan dan minuman yang akan dimakan untuk diri sendiri dan untuk keluarga, karena makanan dan minuman itu tidak hanya berpengaruh terhadap jasmani, melainkan juga terhadap rohani. Setiap daging yang tumbuh dari sesuatu yang haram, maka neraka lebih baik baginya. (Riwayat at-Tirmidzi) Tidak ada halangan bagi orang-orang mukmin yang mampu, untuk menikmati makanan dan minuman yang enak, dan untuk mengadakan hubungan dengan isteri, akan tetapi haruslah menaati ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan syara', yaitu: baik, halal dan menurut ukuran yang layak dan tidak berlebihan. Maka pada akhir ayat ini Allah memperingatkan orang beriman agar mereka berhati-hati dan bertakwa kepada-Nya dalam soal makanan, minuman, dan kenikmatan-kenikmatan lainnya. Janganlah mereka menetapkan hukum-hukum menurut kemauan sendiri dan tidak pula berlebihan dalam menikmati apa-apa yang telah dihalalkan-Nya. Dalam ayat lain Allah berfirman: makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. (al-A'raf/7: 31) Agama Islam sangat mengutamakan kesederhanaan. Ia tidak membenarkan umatnya berlebih-lebihan dalam makan, minum, berpakaian dan sebagainya, bahkan dalam beribadah. Sebaliknya, juga tidak dibenarkannya seseorang terlalu menahan diri dari menikmati sesuatu, padahal ia mampu untuk memperolehnya. Apalagi bila sifat menahan diri itu sampai mendorongnya untuk mengharamkan apa-apa yang telah dihalalkan syara'. Setiap orang beriman diperintahkan Allah swt. untuk senantiasa mengkonsumsi makanan yang halal dan baik (mengandung gizi dan vitamin yang cukup). Jadi bagian ayat yang berbunyi halal dan baik (arab: halalan thayyiba) tersebut di atas mengandung makna dua aspek yang akan melekat pada setiap rezeki makanan yang dikonsumi manusia. Aspek pertama, hendaklah makanan didapatkan dengan cara yang halal yang sesuai dengan syariat Islam yang dicontohkan Rasul. Dalam hal ini mengandung makna perintah untuk bermuamalah yang benar. Jangan dengan cara paksa, tipu, curi, atau dengan cara-cara yang diharamkan dalam syariat Islam. Sementara dalam aspek baik atau thayyib adalah dari sisi kandungan zat makanan yang dikonsumi. Makanan hendaknya mengandung zat yang dibutuhkan oleh tubuh, baik mutu maupun jumlah. Makanan gizi berimbang adalah yang dianjurkan. Ada makanan yang halal tapi tidak thayyib, misalnya Rasul mencontohkan kepala, kulit dan jeroan binatang sembelihan dibuang. Bahkan beliau bersabda jangan makan tulang karena tulang adalah makanan untuk saudaramu dari bangsa jin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bagian-bagian tersebut ternyata banyak mengandung zat penyebab kadar kolestrerol darah dalam tubuh manusia cepat meningkat. Rasulullah telah memberikan suri teladan tentang kesederhanaan ini. Dalam segala segi kehidupannya, beliau senantiasa bersifat sederhana, padahal jika beliau mau niscaya beliau dapat saja menikmati segala macam kenikmatan itu sepuas hati. Akan tetapi beliau tidak berbuat demikian, karena sebagai seorang pemimpin, beliau memimpin dan memberi teladan kepada umatnya, pola hidup sederhana, tetapi tidak menyiksa diri.
Sumber : Aplikasi Quran Kementrian Agama Republik Indonesia