Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa gunung-gunung yang sekarang kelihatannya kokoh berdiri di tempatnya, nanti pada hari Kiamat akan dicabut dari bumi kemudian diterbangkan bagaikan bulu di udara dan berjalannya awan. Firman Allah: Dan gunung-gunung bagaikan bulu (yang beterbangan). (al-Ma'arij/70: 9) Ada dua pendapat ulama tafsir mengenai pernyataan ayat ini bahwa gunung-gunung akan diterbangkan di udara seperti jalannya awan, atau dalam ayat lain seperti bulu ditiup oleh angin. Pendapat pertama, yang merupakan pendapat sebagian besar mufasir, mengemukakan bahwa ayat ini berhubungan dengan peristiwa hari Kiamat, seperti dalam firman Allah: Pada hari (ketika) langit berguncang sekeras-kerasnya, dan gunung berjalan (berpindah-pindah). (ath-thur/52: 9-10 ) Dan firman-Nya: Dan gunung-gunung pun dijalankan sehingga menjadi fatamorgana. (an-Naba'/78: 20) Dalam firman-Nya yang lain: (Yaitu) pada hari (ketika) bumi di ganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka (manusia) berkumpul (di Padang Mahsyar) menghadap Allah Yang Maha Esa, Mahaperkasa. (Ibrahim/14: 48) Kejadian-kejadian yang amat dahsyat ini terjadi pada hari Kiamat setelah tiupan sangkakala yang kedua kalinya, dimana semua manusia dibangkitkan dari kuburnya dan mereka menyaksikan segala macam peristiwa yang sangat dahsyat itu dengan sikap yang berbeda-beda. Pendapat yang kedua mengenai tafsir ayat 88 ini, yakni pendapat ulama ahli falak, menyatakan bahwa ayat ini bukan berhubungan dengan peristiwa hari Kiamat, tetapi dengan fenomena alam di dunia. Ayat ini mengatakan, "Dan engkau akan melihat gunung-gunung, yang engkau kira tetap di tempatnya, padahal ia berjalan (seperti) awan berjalan." Ia dijadikan dalil bahwa bumi berputar seperti planet-planet lain pada garis edar yang telah ditentukan, hanya saja manusia sebagai penghuni bumi tidak merasakannya. Alasan ulama falak, bahwa ayat 88 ini berhubungan dengan peristiwa sekarang dan bukan dengan peristiwa hari Kiamat, adalah: 1. Ayat ini tidak dapat dimasukkan dalam kategori ancaman atau menakut-nakuti dengan kedahsyatan hari Kiamat karena di belakangnya di sambung dengan kata-kata: (Itulah) ciptaan Allah yang mencipta dengan sempurna segala sesuatu. Oleh karena itu, ayat ini lebih tepat bila dihubungkan dengan masa sekarang, di mana manusia sebagai penghuni bumi menyangka bahwa bumi ini diam, demikian pula gunung-gunung yang berada di atas permukaannya. Padahal, bumi bersama gunung-gunung itu berjalan atau beredar sebagai jalannya awan. 2. Gunung-gunung itu diterbangkan untuk dihancurkan pada hari Kiamat, dan terjadi bersamaan dengan kehancuran alam semesta, termasuk kematian seluruh manusia. Hanya beberapa malaikat saja yang tetap hidup. Jika pada hari setelah tiupan sangkakala yang pertama tidak ada lagi manusia yang hidup, bagaimana dapat dikatakan bahwa nanti mereka akan melihat gunung-gunung yang disangka diam, padahal ia berjalan seperti jalannya awan. 3. Orang-orang di Padang Mahsyar yang menyaksikan gunung-gunung berjalan seperti jalannya awan, tentu sadar dan melihat dengan mata kepala sendiri sehingga tidak pantas dikatakan bahwa mereka menyangka gunung-gunung itu diam saja di tempatnya. Berlainan sekali jika dihubungkan dengan masa sekarang, karena memang manusia tidak dapat merasakan bahwa gunung-gunung itu bergerak dan berjalan di angkasa sebagaimana jalannya awan, karena gunung-gunung itu ikut bergerak bersama bumi, dan udara yang ada di sekitarnya. Dengan pengertian yang demikian, maka barulah cocok dengan kata-kata: (Itulah) ciptaan Allah yang mencipta dengan sempurna segala sesuatu. Kata-kata yang indah ini tidak patut dikemukakan pada konteks hari Kiamat yang penuh dengan ancaman dan ketakutan terhadap kehancuran seluruh alam semesta. Demikianlah kedua pendapat tentang tafsir ayat 88 ini. Sebagian besar mufasir menerangkan bahwa ayat itu berhubungan dengan peristiwa hari Kiamat. Sebagian lagi yang terdiri dari ulama falak menerangkan bahwa ayat itu berhubungan dengan peristiwa sekarang, dan dijadikan dalil bahwa semua yang ada di atas bumi termasuk gunung-gunung bergerak, berjalan di angkasa sebagaimana berjalannya awan. Perbedaan penafsiran itu tidak mengenai pada tataran arti, namun hanya menyangkut waktu terjadinya. Karena kejadian ini termasuk dalam alam gaib, maka lebih baik perhatian manusia dititikberatkan kepada perbaikan amalnya. Oleh karena itu, pada akhir ayat itu dinyatakan bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang dikerjakan manusia. Menurut pandangan saintis, bumi merupakan planet terbesar kelima dari sembilan planet yang ada di tata surya. Bentuknya mirip dengan bola bundar, dengan keliling sekitar 12.743 km. Luas permukaan bumi diperkirakan sekitar 510 juta km2. Sekitar 29% permukaan bumi adalah daratan, sedangkan sisanya berupa lautan. Bumi terdiri dari beberapa lapisan yang secara garis besar dibagi menjadi 3 bagian. Bagian paling atas disebut kerak bumi dan ketebalannya bervariasi dari 0-100 km di mana ke arah kontinen makin menebal. Di bawahnya terdapat mantel dengan kedalaman sampai 2.900 km. Bagian paling dalam disebut inti bumi dengan kedalaman dari 2.900-6.370 km. Pembagian ini didasarkan pada analisa gelombang gempa dan masing-masing bagian tersebut mempunyai sifat fisis yang berbeda. Inti bumi misalnya mempunyai sifat fisis layaknya benda cair. Pembagian ini pada dasarnya dapat diperinci lebih detail. Manusia berada pada lapisan bumi bagian atas, yakni kerak bumi. Sampai paruh abad 20, bidang kebumian ditandai oleh perdebatan tentang continental drift (kontinen yang mengapung). Mereka yang tidak setuju, disebut fixists, sedang yang setuju disebut mobilists. Menurut kubu mobilist, continental mengapung dan bergerak di atas mantel. Kalau kita melihat peta dunia, maka dengan amat mudah kita melihat benua Afrika dan benua Amerika [Selatan] bila diimpitkan, maka garis pantai keduanya relatif berimpit. Jadi, pada dasarnya semua benua yang ada semula berupa satu benua yang satu, yang disebut Pangea, kemudian pecah dan bergerak ke tempat yang sekarang kita lihat. Data ilmiah seperti data kemagnitan purba, kesamaan fosil maupun kesamaan formasi geologi mendukung teori ini. Dan engkau akan melihat gunung-gunung, yang engkau kira tetap di tempatnya, padahal ia berjalan (seperti) awan berjalan. Perdebatan ini terus berlangsung dan puncaknya pada tahun enam puluhan. Pada saat itu, terjadilah revolusi pemikiran di bidang ilmu geologi dan pemikiran kaum mobilists mulai diterima secara luas. Penemuan punggungan tengah samudra di Samudra Atlantik dan Samudra Pasifik yang didukung data geologi dan geofisika, khususnya data magnetik, memperlihatkan adanya pemekaran dasar samudra di mana dua lempeng saling bergerak menjauh. Pada lantai samudra ini, magma dengan suhu sangat tinggi yang berasal dari mantel bumi naik ke atas membentuk punggungan tengah samudra Dari dua konsep di atas, Apungan Benua dan Pemekaran Samudra, lahir konsep Tektonik Lempeng yang berkembang sangat cepat sejak tahun 1967 dan memiliki implikasi terhadap seluruh aspek geologi termasuk gempa bumi, gunung api, sampai pada perkembangan cekungan hidrokarbon maupun endapan-endapan mineral. Teori ini mengatakan bahwa bumi bagian atas terdiri dari lempengan-lempengan litosfer yang terdiri dari kerak bumi dan mantel bagian atas yang mengapung dan bergerak di atas bagian mantel yang disebut astenosfer. Lempeng-lempeng litosfer bergerak dan saling berinteraksi satu sama lain. Pada tempat-tempat saling bertemu, pertemuan lempengan ini menimbulkan gempa bumi. Sebagai contoh adalah Indonesia yang merupakan tempat pertemuan tiga lempeng: Eurasia, Pasifik, dan Indo-Australia. Bila dua lempeng bertemu, maka terjadi tekanan (beban) yang terus menerus, dan bila lempengan tidak tahan lagi menahan tekanan (beban), maka lepaslah beban yang telah terkumpul ratusan tahun itu, dan dikeluarkan dalam bentuk gempa bumi, seperti firman Allah: Apabila bumi diguncangkan dengan guncangan yang dahsyat, dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya, dan manusia bertanya, "Apa yang terjadi pada bumi ini?" Pada hari itu bumi menyampaikan beritanya. (al-Zalzalah/99: 1-4) Pada hari itu, bumi menceritakan beritanya. Beban berat yang dikeluarkan dalam bentuk gempa bumi merupakan satu proses geologi yang berjalan bertahun-tahun. Begitu seterusnya, setiap selesai beban dilepaskan, kembali proses pengumpulan beban terjadi. Proses geologi atau berita geologi ini dapat direkam, baik secara alami maupun dengan menggunakan peralatan geofisika ataupun geodesi. Sebagai contoh adalah gempa-gempa yang beberapa puluh atau ratus tahun yang lalu, peristiwa pelepasan beban direkam dengan baik oleh terumbu karang yang berada dekat sumber gempa. Pada masa modern, pelepasan energi ini terekam oleh peralatan seismograf (pencatat gempa) maupun peralatan geodesi yang disebut GPS (Global Position System).
Sumber : Aplikasi Quran Kementrian Agama Republik Indonesia