Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa Dia tidak akan memberi hamba-Nya rezeki yang berlimpah-limpah, jika pemberian itu bisa membawa mereka kepada keangkuhan dan ketakaburan, sebagaimana firman Allah: Sekali-kali tidak! Sungguh, manusia itu benar-benar melampaui batas, apabila melihat dirinya serba cukup. (al-'Alaq/96: 6-7) Allah memberikan rezeki kepada hamba-hamba-Nya dengan kadar tertentu, sesuai dengan kehendak dan selaras dengan kebijaksanaan-Nya. Dengan sifat rahman Allah, Dia tetap memberikan rezeki meskipun orang itu tidak beriman bahkan ketika manusia melupakan Tuhannya, saat itulah Allah melimpahkan lebih banyak lagi rezekinya. Apabila mereka tetap tidak bersyukur, dan larut dalam kesenangan, barulah Allah menjatuhkan azabnya sebagaimana firman Allah: Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu (kesenangan) untuk mereka. Sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa. (al-An'am/6: 44) Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa kekayaan seseorang bukan indikator bahwa Allah sayang kepadanya, tetapi kekayaan justru menjadi batu ujian bagi keimanan seseorang. Contoh bagaimana sikap seseorang terhadap kekayaannya, dapat dilihat apakah dia menggunakannya untuk memberi manfaat bagi dirinya dan orang lain, karena keterlibatan hak orang lain pada kekayaannya dan sebagai tanda bersyukur kepada sang pemberi kekayaan, atau dia menggunakan kekayaan itu hanya untuk kesenangan dirinya dan mengklaim bahwa kekayaannya diperoleh melalui usahanya sendiri, sehingga lupa kepada Allah yang memberi kekayaan. Allah berfirman: Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar. (al-Anfal/8: 28) Dalam hal ini, Karun dan Fir'aun menjadi contoh nyata, karena kekayaan dan kejayaannya menyebabkan keduanya sombong kepada Allah. Abu Hani' al-Khaulani berkata, "Saya mendengar 'Amr bin Khurait dan lainnya mengatakan bahwasanya ayat ini (ayat 27 ini) diturunkan kepada ahlusuffah (penghuni beranda masjid Nabi di Medinah); mereka berangan-angan memiliki harta benda (yang bertumpuk-tumpuk), mereka mengangankan kemegahan dunia.
Sumber : Aplikasi Quran Kementrian Agama Republik Indonesia