Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa Allah tidak akan berkata-kata dengan hamba-Nya kecuali dengan salah satu dari tiga cara seperti berikut ini: 1. Dengan wahyu, yakni Allah menanamkan ke dalam hati sanubari seorang nabi suatu pengertian yang tidak diragukannya bahwa yang diterimanya adalah dari Allah. Seperti halnya yang terjadi dengan Nabi Muhammad saw. Sabda beliau: Sesungguhnya Ruhul Qudus telah menghembuskan ke dalam lubuk hatiku bahwasanya seseorang tidak akan meninggal dunia hingga dia menerima dengan sempurna rezeki dan ajalnya, maka bertakwalah kepada Allah dan berusahalah dengan cara yang sebaik-baiknya. (Riwayat Ibnu hibban) 2. Di belakang tabir yakni dengan cara mendengar dan tidak melihat siapa yang berkata, tetapi perkataannya itu didengar, seperti halnya Allah berbicara dengan Nabi Musa, Firman Allah : Dan ketika Musa datang untuk (munajat) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, (Musa) berkata, "Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau." (Allah) berfirman, "Engkau tidak akan (sanggup) melihat-Ku. (al-A'raf/7: 143) 3. Mengutus seorang utusan, yakni Allah mengutus Malaikat Jibril, maka utusan itu menyampaikan wahyu kepada siapa yang dikehendaki-Nya, sebagaimana halnya Jibril turun kepada Nabi Muhammad saw dan kepada nabi-nabi yang lain. 'Aisyah meriwayatkan bahwa al-harits bin Hisyam bertanya kepada Nabi saw, "Bagaimana cara wahyu datang kepadamu?" Rasulullah saw menjawab, "Terkadang wahyu datang kepadaku seperti bunyi lonceng. Cara inilah yang sangat berat bagiku. Setelah ia berhenti, aku telah mengerti apa yang telah dikatakan-Nya; kadang-kadang malaikat mewujudkan dirinya kepadaku sebagai seorang laki-laki, lalu dia berbicara kepadaku, maka aku mengerti apa yang dibicarakannya". Berkata 'Aisyah ra, sesungguhnya saya lihat Nabi ketika turun kepadanya wahyu di hari yang sangat dingin, kemudian setelah wahyu itu berhenti terlihat dahinya bercucuran keringat. (Riwayat al-Bukhari) Ayat ini ditutup dengan penegasan bahwa Allah itu Mahatinggi lagi Mahasuci dari sifat-sifat makhluk ciptaan-Nya. Dia disebut menurut kebijaksanaan-Nya, berbicara dengan hamba-hamba-Nya, adakalanya tanpa perantara baik berupa ilham atau berupa percakapan dari belakang tabir.
Sumber : Aplikasi Quran Kementrian Agama Republik Indonesia